Mengkaji Siaran TV Digital
Jan 27, 2015
Edit
oleh : Redy Panuju |
Rangkaian sosialisasi sudah sering dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) dalam beberapa saluran. Akan tetapi rencana itu tidak terencana dengan baik dari segi yuridisnya. Akibatnya terjadi perdebatan dan adu kebenaran lewat jalur hukum. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dipandang sudah tidak mampu menjawab tantangan perkembangan teknologi komunikasi yang begitu pesat, apalagi beberapa problematika penataan infrastruktur penyiaran sehingga memunculkan ketidakpastian.
Sejak tahun 2007 sebenarnya Kemenkominfo menyiapkan kebijakan dengan Permen Kominfo No. 7 Tahun 2007 tentang Standar Penyiaran Televisi Digital Terestrial. Kemudian disusul Permen Kominfo No. 5 Tahun 2012 tentang hal yang serupa.
Kemudian muncul permasalahan ketika regulasi ketika Kemenkominfo menerbitkan Permen Kominfo No 22 Tahun 2011. Permen tersebut mendapat reaksi keras, dirasa didalamnya banyak hal yang bertentangan dengan UU Penyiaran maupun UU Telekomunikasi. Dalam penataan pemerintah meninggalkan peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tidak memperhatikan aspek keadilan bagi pemain lokal dan menyerahkan penataan kepada pemenang tender yang berasal dari kalangan pengusaha (TV swasta). Padahal hal itu bertentangan dengan UU Penyiaran dan UUD 1945. Bila dianggap sumberdaya yang langka dan terbatas, harusnya frekuensi dikuasai negara dan untuk rakyat.
Setelah itu berbagai pihak melawan permen tersebut dengan menempuh jalur hukum dan MA membatalkan UU tersebut pada tanggal 23 Juli 2012. Tak kurang akal, Kemkominfo menerbitkan permen pengganti tetapi dengan isi yang sama (Permen Kominfo No 32 Tahun 2013). Bagi pemerintah persoalan regulasi digital sudah kepalang basah. Sebab jika dihentikan mereka akan digugat oleh pemenang tender yang tentu sudah banyak mengeluarkan modal. Selanjutnya Kemkominfo mengambil langkah kompromistis. Proses tetap dijalankan tetapi melalui jalur komisi penyiaran.
Hasilnya sejak setahun lalu Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) se-Indonesia memproses penataan infrastruktur penyiaran sesuai dengan peraturan perundangan. Para pemohon izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) TV digital mulai ramai, baik pemain baru maupun lama. Namun penataan tidak mudah, mereka melakukan nego harga sewa slot kepada pemilik (pemenang tender) Mux. Pada umumnya mereka mengeluh mahalnya sewa kanal sehingga tidak mudah untuk dipenuhi. Kanal frekuensi identik dengan komiditas yang mempunyai nilai jual. Padahal sesuai UU No 32/2002 dilarang diperjual belikan.
Kemudian dalam kondisi anomali tersebut Kemenkominfo menerbitkan Keputusan No 1017 Tahun 2014 tentang Peluang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi secara Analog. Terbitnya keputusan tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah menunda penataan TV digital? Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah mengajukan permohonan IPP untuk TV digital, padahal pada Keputusan No 1017 tersebut disertakan klausul bersedia berpindah ke digital apabila telah mendapat IPP analog. Mana yang benar ?
SUMBER